(diantara banyak jejak dan hal yang ingin saya tuliskan, saya memilih menuliskan tentang ini terlebih dahulu, anggaplah sebagai pelunasan hutang saya kepada narasumber terkait).
Sebenarnya, tulisan ini lebih cocok menjadi sebuah paparan atau orasi pada perayaan-perayaan yang ada sangkut pautnya dengan pendidikan, tapi saya memilih menuliskannya hanya di blog pribadi. Barangkali lebih banyak yang membaca tulisan ini ketimbang mendengar orasi saya tentang ini.
Saya sengaja bertemu dengan narasumber pemilik utuh dari
ide-ide yang akan saya paparkan dalam tulisan ini, yang sayang sekali beliau
“don’t need famous, but just need peace and happiness”, sehingga tidak saya
sebutkan secara gamblang siapa. Yang perlu diketahui adalah, tulisan ini hanya
pemaparan ulang dari apa yang saya simak dari paparan narasumber secara verbal,
yang saya sedikit saya kembangkan dan saya kritisi. Sebenarnya narasumber ybs
berharap saya akan memberikan banyak antitesis terhadap ide-idenya, untuk dapat
didiskusikan ulang, tapi lagi-lagi saya lebih banyak setuju .
Beliau memaparkan, secara singkat, dengan contoh-contoh
faktual, mengenai ketimpangan sistem pendidikan di negara kita, dan merumuskan
beberapa pilar sebagai evolusi sistem pendidikan yang patut dicoba tanpa perlu
melalui uji klinis. Selanjutnya tulisan
ini tidak akan seberat judulnya, pemecahan-pemecahan praktis bisa saja lahir
dari pilar-pilar tersebut, lahir dari konsep-konsep filosofis, yang lebih
memberi perhatian pada inti, bukan polesan-polesan kulit. Kita, tanpa perlu
berada di pucuk pimpinan, barisan kekuasaaan, atau menjadi bagian dari pemilik
kebijakan, kita, bisa saja turut andil dalam evolusi sistem pendidikan tsb.
Sedikitnya, ada 4 pilar dasar sebagai solusi dari sistem pendidikan saat
ini. Ada kesalahan-kesalahan yang perlu diperbaiki, paradigma-paradigma yang
perlu digeser, dan cara-cara yang perlu diganti. Saya menyebutkan sebagai
sebuah tahap menuju evolusi pendidikan. Mari kita mulai dengan pilar pertama.
Pilar I. Mendefinisikan Ulang Mengenai Status
Buta Huruf
Pemerintah mendefinisikan buta huruf
sebagai ketidakmampuan bmembaca dan menulis dalam bahasa Indonesia. Sebuah fakta menyebutkan bahwa ada 3,6 juta penduduk Indonesia yang buta huruf.
Lalu, bagaimana dengan suku-suku pedalaman yang fasih sekali berbahasa lokal?
Berkomunikasi dalam bahasanya, membaca dan menulis hanya saja tidak
menggunakan standar bahasa Indonesia. Pemerintah kita terlalu menstandarkan
bahasa, lupa bahwa indonesia memiliki banyak suku. Berdasarkan data sensus penduduk, diketahui jumlah suku di Indonesia sebanyak 1.128 suku. Sedangkan penelitian Kemendikbud pada tahun 2012, menyatakan jumlah bahasa dan
sub bahasa di seluruh Indonesia mencapai 546 bahasa. Apakah kita melupakan angka-angka tersebut, angka-angka yang menunjukkan keragaman masing-masing soal
bahasa dan cara berkomunikasi. Lalu, kenapa harus disamakan?
Saya sempat mendebat pendapat ini,
“Loh, Bahasa Indonesia kan bahasa Nasional.
Bahasa kesatuan, ya, harus dong pake bahasa Indonesia, itu kan identitas”
“Siapa yas yang bilang bahasa Indonesia
sebagai bahasa Nasional? Pemerintah kan?”
“Iya, awalnya dari sumpah pemuda.”
“Terus, kalau ga bisa berbahasa
Indonesia berarti gak nasionalis?”
“_______” *diam, dalam hati, “iya juga sih”
Orang-orang di suku pedalaman dipaksakan
harus menguasai tentang bahasa Indonesia, membaca, menulis dan
berkomunikasi lewat bahasa yang disebut-sebut sebagai bahasa nasional, agar
lepas dari status “buta huruf”. Padahal dalam kapasitas mereka, yang jauh dari
kemilau ibukota, pusat pemerintahan, yang bahkan kurang mengenal Indonesia.
Bisa jadi mengintip Indonesia secara keseluruhan lewat peta saja tidak pernah.
Mereka tidak mengenal jauh tentang Indonesia, bahkan mungkin lebih jauh lagi tidak merasa
menjadi bagian dan memiliki Indonesia, bisa saja bagi anak-anak disana
Indonesia adalah sebuah dongeng, dengan ibu peri, kastil, taman bunga,
kupu-kupu, kolam, nan indah, yang jauh sekali dari tempat mereka. Lalu,
sebegitu egoisnya kah kita memaksakan mereka untuk berbahasa nasional? Dengan akses
yang begitu terbatas untuk mengenal apa itu nasionalisme. Memvonis mereka
dengan status “buta huruf”, bukankah sebuah diskriminasi? Sementara, dalam
kesehariaanya, mereka menikmati hari-hari lewat kearifan lokal. Bahasa daerah,
cara-cara daerah, adat istiadat, budaya lokal, yang sesungguhnya merupakan
entitas yang turut membentuk Indonesia. Kekayaan-kekayaan lokal yang terus dipertahankan
apakah bertentangan dengan nasionalisme? Jika dalam kapasitasnya, pemerintah
mampu menjangkau suku-suku terbelakang, lalu menginiasi tentang baca tulis dalam bahasa Indonesia, mengenalkan Indonesia, masuk dalam
dimensi-dimensi keberagaman lalu mengenalkan tentang apa itu bahasa persatuan
dan hukum wajibnya, demi memberantas “buta huruf”, langkah-langkah tersebut akan
jauh lebih heroik, daripada sekedar mengutuk buta huruf menurut definisi yang
berkembang selama ini.
Tapi apakah mungkin? Retorik!
Suku-suku yang berbahasa lokal, jika menguasai
bahasa Indonesia adalah menjadi kewajiban, maka dalam tiap daur hidup mereka
yang tidak pernah mengenal bahasa Indonesia, suka tidak suka, kita seperti
menganggap mereka sebagai makhluk asing di planet asingnya. Menganggap mereka
seperti menggunakan bahasa asing hanya karna kita tidak mengerti, pun mereka
yang tidak mengerti bahasa Indonesia. Lagi-lagi ini diskriminatif. Mereka
adalah Indonesia, dengan atau tanpa kemampuan berbahasa Indonesia, mereka telah
membentuk Indonesia menjadi ada lewat keberagaman. Mereka bisa dikatakan buta
huruf, dan menambah besar angka dan prosentase buta huruf di negeri ini. Buta huruf
adalah stereotip negatif, seolah menjadi parameter kebodohan atau kemajuan
suatu negara. Semakin banyak buta huruf, sebagai awam saya dapat menyimpulkan
semakin tinggi pula tingkat kebodohan. Saya membayangkan, jika angka buta huruf
dieliminasi secara ekstrem karna orang-orang mampu baca tulis dalam
bahasa lokal tidak dianggap buta huruf, akan seberapa ciut angka yang kita
dapatkan. Penciutan angka buta huruf, yang sekaligus menurunkan anggapan awam
mengenai tingkat kebodohan. Tidak mengerti bahasa Indonesia, tidak selalu
berarti bodoh.
Orang-orang yang bertahan dalam kearifan lokal, mampu berkembang dengan caranya masing-masing, bahkan mungkin jauh dari peran dan kebijakan tertinggal. Memaksakan bahasa Indonesia menjadi standar umum tak terkecuali untuk suku-suku tertinggal, sama saja memaksakan kearifan lokal untuk masuk dalam pola hidup metropolis. Kita sama-sama memaksakan, sama-sama memandang perbedaan sebagai keterasingan. Seolah kita hidup dalam planet masing-masing, berbahasa dan berpola hidup dengan cara planet masing-masing. Hakikatnya, pemaksaan-pemaksaan tersebut justru memberi jarak sejauh-jauhnya bagi nasionalisme. Nasionalisme menjadi sesuatu yang asing, yang justru menjadi antitesis bagi tujuan awal bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Orang-orang yang bertahan dalam kearifan lokal, mampu berkembang dengan caranya masing-masing, bahkan mungkin jauh dari peran dan kebijakan tertinggal. Memaksakan bahasa Indonesia menjadi standar umum tak terkecuali untuk suku-suku tertinggal, sama saja memaksakan kearifan lokal untuk masuk dalam pola hidup metropolis. Kita sama-sama memaksakan, sama-sama memandang perbedaan sebagai keterasingan. Seolah kita hidup dalam planet masing-masing, berbahasa dan berpola hidup dengan cara planet masing-masing. Hakikatnya, pemaksaan-pemaksaan tersebut justru memberi jarak sejauh-jauhnya bagi nasionalisme. Nasionalisme menjadi sesuatu yang asing, yang justru menjadi antitesis bagi tujuan awal bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Jika dikaitkan dengan sumpah pemuda, bahasa
Indonesia kala itu berhasil menjadi bahasa nasional, sebab lahir dari pemikiran
pemuda-pemuda yang haus akan alat pemersatu untuk berjuang bersama, salah
satunya adalah bahasa. Tetapi, apakah yang lebih dibutuhkan Indonesia sekarang?
Alat pemersatu ataukah ketajaman dalam mentolerir keberagaman? Jika jawabannya
adalah pilihan kedua, maka, langkah menuju evolusi sistem pendidikan, dapat
dimulai dengan mendefinisikan ulang tentang status buta huruf. Bahwasanya,
tidak menguasai baca tulis ala bahasa Indonesia, tidak lagi dianggap
sebagai buta huruf. Buta huruf dapat didefinisikan ulang sebagai ketidakmampuan
baca tulis dalam bahasa manapun. Jika menguasai baca tulis dalam salah satu bahasa, maka tidak bisa dengan diskriminatif menyematkan
status “buta huruf” pada kondisi tsb.
Belum lagi jika dikaitkan dengan kemampuan membaca dan menulis dari sisi diluar aksara. Membaca kan tidak harus selalu membaca tulisan.
Misalnya:
Membaca alam.
Membaca cinta.
Membaca Tuhan.
Membaca diri.
Sebaiknya kita gali kembali, apakah orang-orang tajam kemampuannya dalam membaca “huruf-huruf lain” tsb, juga buta huruf?
Belum lagi jika dikaitkan dengan kemampuan membaca dan menulis dari sisi diluar aksara. Membaca kan tidak harus selalu membaca tulisan.
Misalnya:
Membaca alam.
Membaca cinta.
Membaca Tuhan.
Membaca diri.
Sebaiknya kita gali kembali, apakah orang-orang tajam kemampuannya dalam membaca “huruf-huruf lain” tsb, juga buta huruf?
(NB: Saya tidak akan mengajak debat, boleh
saja tidak setuju)
Sumber gambar: http://kaltara.prokal.co
Lanjutan tulisan ini dapat dibaca di: Evolusi Sistem Pendidikan #2
Lanjutan tulisan ini dapat dibaca di: Evolusi Sistem Pendidikan #2
0 komentar