Rabu, hari ke-9 bulan ke-3 dalam masehi ke-2016
Sebuah pagi yang dimulai dengan menjawab dua chat yang
berisi pertanyaan tentang gerhana.
Chat 1: “Kamu liat gerhana gak?”
Menjawab dengan otak kiri: “Kan gerhananya gak sampai sini.
Cuma sebagian aja.”
Chat 2: “Solat Gerhana? Atau kemana?”
Menjawab dengan otak kanan: “Gw
ngelahirin, Lin. Biar anak gw nanti punya kekuatan super kayak Pierre Roland.”
Gerhana matahari tadi sudah
lewat, beberapa menit saja, dalam hitungan ribuan purnama katanya akan menyapa
kembali Indonesia. Katanya.
***
Dewa Ra Sang penjaga matahari dalam perjalanan
melintasi langit, bertarung dengan Apep, Dewa Ular. Dalam pertarungan itu
langit nampak gelap, matahari terhalang sinarnya. Setidaknya begitulah mitologi
Mesir Kuno tentang peristiwa yang dalam keilmuan disebut gerhana matahari. Di
Jepang, orang-orang menutup sumur mereka. Saat terjadinya gerhana matahari
dipercaya sedang ada wabah dan penyakit yang sedang disebar ke bumi. Kalau mitos
di Indonesia ada raksasa Batara Kala yang menelan matahari akibat dendamnya
dengan dewa Matahari, dan dengan memukul kentongan dipercaya dapat membuat
Batara Kala memuntahkan kembali matahari yang ditelannya. Lain juga di China,
naga dianggap sebagai pelaku yang menelan matahari. Dan prajurit-prajurit China
menyalakan petasan ke arah matahari agar naga memuntahkan matahari kembali. Sementara
di India, Rahu dan Ketu adalah dua sosok setan yang menelan matahari. Sol, dewi
matahari menurut kepercayaan Norse Kuno, ketika terjadi gerhana berjarak sangat
dekat dengan Skoll, serigala yang selalu mengejar Sol untuk memakannya. Mungkin
saja bangsa Batammaliba adalah satu-satunya bangsa yang melihat gerhana
matahari sebagai sesuatu yang positif. Ketika terjadi gerhana matahari artinya
sedang terjadi perjuangan antara matahari dan bulan untuk menghentikan
pertempuran.
Seminggu lalu kita juga sudah dikenyangkan
dengan beragam informasi mengenai Gerhana Matahari Total (GMT). Media-media seolah
membentuk kita menjadi astronom dadakan lewat berjejalan pengetahuan umum
mengenai GMT. Dari mulai proses terjadinya gerhana, sampai bahaya laten melihat
gerhana secara langsung.
Beberapa sejarah kembali tersentuh, termasuk soal paranoai yang dibentuk oleh pemerintahan orde baru. Generasi 90-an kembali diingatkan dengan sosok Pierre Roland, yang pernah berjaya di masanya. Sementara dalam agama Islam gerhana matahari adalah bukti kuasa Allah yang tepat menjadi momentum untuk bermuhasabah, solat gerhana pun menjadi prosesi khusus. Gema takbir yang sampai ke langit, menyentuh sisi emosional umat Muslim yang mengingatkan pada ‘rasa’ lebaran. Belum cukup hanya itu, pemerintah pada era ini lebih menyanangkan isu “Wisata Gerhana”, paradoks dengan paranoia GMT 33 tahun silam.
Beberapa sejarah kembali tersentuh, termasuk soal paranoai yang dibentuk oleh pemerintahan orde baru. Generasi 90-an kembali diingatkan dengan sosok Pierre Roland, yang pernah berjaya di masanya. Sementara dalam agama Islam gerhana matahari adalah bukti kuasa Allah yang tepat menjadi momentum untuk bermuhasabah, solat gerhana pun menjadi prosesi khusus. Gema takbir yang sampai ke langit, menyentuh sisi emosional umat Muslim yang mengingatkan pada ‘rasa’ lebaran. Belum cukup hanya itu, pemerintah pada era ini lebih menyanangkan isu “Wisata Gerhana”, paradoks dengan paranoia GMT 33 tahun silam.
Cukup sudah ramai-ramai berita tentang harmonisasi gerak
semesta yang hanya terjadi tiap 18 tahun 11 hari itu, kali ini menumpu di
beberapa wilayah di Indonesia. Anggota ke-52 dari 73 anggota pada Siklus Saros ke-130 ini terjadi bertetapan pula dengan hari raya Nyepi
pada tanggalan Masehi, 9 Maret 2016 hari libur nasional. Maka semakin viral-lah
euforia GMT 2016. Kita pun tak bisa luput dari pertontonan debat antara: perayaan
gerhana atau penghayatan gerhana?
Cukup sudah cerita mengenai lautan manusia di Planetarium, cerita
antrian dari jam 2 dini hari sampai cerita tentang tatapan lesu orang-orang yang
sudah jauh-jauh datang tapi tak berhasil berebut untuk masuk kesana. Cukup
sudah cerita mengenai kekecewaan orang-orang yang ‘menonton’ GMT di Palembang,
karena awan mendung yang lewat sana menjelma inhibitor yang menghanyutkan jauh-jauh
ekspektasi mereka.
Cukup sudah unggahan-unggahan dan ulasan-ulasan mengenai
detik-detik GMT hingga habisnya yang melayang-layang di media informasi online.
Cukup sudah. Kita sudah kenyang.
Namun diantara beragam anasir yang membentuk ujud rekam
kisah GMT 2016, perhatian saya tertarik pada selera humor orang Indonesia.
Beberapa meme comic berotasi di beranda media sosial, yang paling menarik
perhatian saya adalah meme comic yang caption-nya:
“Kesian, ya, Bulan dan Matahari. Udah mah ketemunya nunggu lama banget, sekalinya ketemu Cuma sebentar terus misah lagi.”
Disamping geli sendiri setelah baca itu, dalam sepersekian
detik saya menerjemahkan lebih jauh dalam semesta pikiran saya.
Bener juga, ya?
Betapa tabahnya Bulan yang menunggu 18 tahun lewat 11 hari demi
satu kejadian dalam Siklus Saros, demi dapat disinari secara sempurna oleh
Matahari, yang kita kenali sebagai gerhana matahari total.
Sinar matahari sebut saja sebagai jodoh bulan. Bulan bekerja
terus-menerus, konsisten, berotasi sekaligus berevolusi pada bumi. Bulan yang tak
pernah mangkir, bahkan rehat pun, bulan yang tak pernah khianat. Bulan yang
setia, terus-menerus berada dalam kodrat dan fitrahnya, dalam tugasnya: menjadi
satu-satunya satelit alami bagi bumi.
Kalau benar sinaran mentari adalah jodoh bulan, semestinya
kita malu pada ketabahan bulan. Ketabahan bulan bukanlah ketabahan yang diam,
ketabahan bulan adalah gerak harmonis menahun, tanpa berhenti, tanpa mundur.
Tanpa krisis percaya. Kepasrahan bulan bukanlah kepasrahan pada keadaannya yang
nun jauh terpisah dari matahari, 149.680.000 km.
Kepasrahan bulan adalah kepasrahan pada nasib sembari ia terus-menerus tunduk pada
fitrahnya. Bulan tak memusykilkan sinar matahari sebagai dongeng belaka. Sinaran
matahari adalah keniscayaan, meski harus ditukar dengan puluhan tahun ketabahan
bulan.
Kalau benar sinaran mentari adalah jodoh bulan, semestinya
kita malu pada ketabahan bulan. Manusia punya kodrat dan fitrahnya, punya tugas
pula. Tapi apa kita sanggup menunggu sebanyak bulan lakukan? Tabah selama 18
tahun lewat 11 hari, demi sebuah nasib yang tak habis-habisnya kita percaya.
Jangankan belasan tahun, berjalan bulan, berjalan tahun, coba ingat sebanyak
apa kita mengeluh? Sebanyak apa kita menyerah? Sebanyak apa kita berhenti
percaya?
Seringnya sih kita, kuliah lama lulus aja, lalu menyerah. Mencoba bisnis sekali dua kali,
belum untung, lalu menyerah. Pacaran bertahun-tahun tapi gagal menikah, lalu menyerah,
trauma menahun, men-dasawarsa. Dan lain-lain dalam proses pewujudan impian,
setahun dua tahun, belum sampai, lalu menyerah. Sementara bulan bergerak
konsisten selama 18 tahun 11 hari, belum juga ada hasilnya, sinar mentari belum
juga menimpa dia. Sampai di hitungan 18 tahun 12 hari, baru mewujud. Melihat
kenyataan-kenyataan itu, rasanya ada disparitas yang terlampau jauh antara ketabahan
kita dengan ketabahan bulan.
Mungkin saja sinar matahari adalah jodoh bulan. Mungkin saja
kita seharusnya meniru bulan. Jodoh yang saya maksud bukanlah jodoh dalam
pengertian sempit. Jodoh, bukan hanya satu jiwa yang bertemu jiwa lain, lalu
menjadi satu inti. Jodoh bisa saja satu orang yang menemukan sekumpulan orang
yang sejiwa juga. Jodoh pun bisa jadi adalah nasib baik yang selama ini kita
percaya. Jodoh kita selain pasangan, bisa diartikan seluas rezeki, sahabat-sahabat,
komunal, nasib baik, jalan hidup, tujuan hidup, sampai akhir hidup. Bedanya
dibanding bulan, manusia lebih bisa luwes.
Kita bisa mundur dulu kalau jengah dalam langkah kita. Menyusun langkah-langkah lain yang lebih mantap, setelah mundur satu-dua langkah. Sedang bulan, tidak bisa melakukan gerak lain di luar rotasi dan revolusi. Manusia bahkan boleh istirahat, sejenak mengumpulkan lagi makna, lalu kembali melanjutkan ketabahan. Sedang bulan jika berhenti berotasi dan berevolusi, artinya kiamat.
Manusia juga bisa saja mengatur ulang lintasannya untuk sampai tujuan, manusia boleh merevisi berkali-kali. Berkali-kali. Sedang bulan tidak bisa merevisi orbitnya. Manusia memilih sendiri tujuannya (yang seharusnya sejalan dengan tugas manusia yang diamanatkan oleh-NYA), manusia bebas menyusun sendiri jalan menuju ke sana. Tujuan dan rencana, dan berjalan menurut jalur yang sudah diyakini. Tapi sebatas itu, manusia bukan mendikte takdir. Sebab di tengah-tengah, bisa saja oleh DIA, ditunjukkan jalan pintas, jalan alternatif, jalan yang lebih terjal, jalan yang lebih jauh, jalan yang lebih mudah, dan lainnya yang berbeda dari rencana manusia.
Jalan yang semestinya terasa lebih indah, setelah kita mampu mengkhatami segala hikmah. Tak hanya jalan, pun oleh-NYA kita disampaikan pada tujuan yang berbeda dari tujuan yang kita rencanakan. Akhir yang mungkin membuat kita berdenyar tak menyangka. Dan lagi-lagi semestinya tempat kita sampai nanti lebih indah dari rencana, jika kita telah selesai mengkhatami segala hikmah.
Kita bisa mundur dulu kalau jengah dalam langkah kita. Menyusun langkah-langkah lain yang lebih mantap, setelah mundur satu-dua langkah. Sedang bulan, tidak bisa melakukan gerak lain di luar rotasi dan revolusi. Manusia bahkan boleh istirahat, sejenak mengumpulkan lagi makna, lalu kembali melanjutkan ketabahan. Sedang bulan jika berhenti berotasi dan berevolusi, artinya kiamat.
Manusia juga bisa saja mengatur ulang lintasannya untuk sampai tujuan, manusia boleh merevisi berkali-kali. Berkali-kali. Sedang bulan tidak bisa merevisi orbitnya. Manusia memilih sendiri tujuannya (yang seharusnya sejalan dengan tugas manusia yang diamanatkan oleh-NYA), manusia bebas menyusun sendiri jalan menuju ke sana. Tujuan dan rencana, dan berjalan menurut jalur yang sudah diyakini. Tapi sebatas itu, manusia bukan mendikte takdir. Sebab di tengah-tengah, bisa saja oleh DIA, ditunjukkan jalan pintas, jalan alternatif, jalan yang lebih terjal, jalan yang lebih jauh, jalan yang lebih mudah, dan lainnya yang berbeda dari rencana manusia.
Jalan yang semestinya terasa lebih indah, setelah kita mampu mengkhatami segala hikmah. Tak hanya jalan, pun oleh-NYA kita disampaikan pada tujuan yang berbeda dari tujuan yang kita rencanakan. Akhir yang mungkin membuat kita berdenyar tak menyangka. Dan lagi-lagi semestinya tempat kita sampai nanti lebih indah dari rencana, jika kita telah selesai mengkhatami segala hikmah.
Pertanyaannya, apa kita mau setabah bulan yang akhirnya
sempurna disinari mentari setelah melakukan gerakan selama 18 tahun 11 hari? Atau sebentar-sebentar mengutuk, mengeluh. Mundur selamanya,
bukan mundur satu-dua langkah saja. Berhenti selamanya. Bukan sejenak dua
jenak.
Kalau benar sinaran mentari adalah jodoh bulan, tak ada
ruginya jika kita mulai meniru ketabahan bulan.
Kalau benar sinaran mentari adalah jodoh bulan, dan kita
meniru bulan. Mungkin saja ketakutan-ketakutan, kekhawatiran-kekhawatiran yang begitu
saja kita telan tanpa tabah menghadapinya bagai mitos-mitos tentang raksasa
atau setan atau naga yang memakan dewa matahari. Semua yang melunturkan rasa
percaya kita, barangkali cuma mitos. Kuno.
Gerhana matahari akan kembali dan menyapa Makassar dan Papua
di 2023, kemudian 2042 di Jambi. Pada tahun 2049, gerhana matahari diperkirakan
akan lewat Jakarta. Nanti, kalau di 2049 saya masih hidup dan tinggal di
sekitar Jakarta, saya tidak bisa lagi mengelak untuk tidak melihat gerhana
matahari. Dan di periode gerhana setelah ini, apa nanti saya masih mengingat
Pierre Roland? –jika saya masih diberi hidup.
Depok, 12 Maret 2016
-diazsetia, yang seharusnya menulis ini dua hari lalu
0 komentar